Suatu pagi, Kumprit sedang berjalan-jalan dengan seekor anjingnya, Cuplik. Di tengah perjalanan, seekor kucing melompat dari semak-semak di hadapan Cuplik. Kumprit yang agak lengah untuk memegang erat tali Cuplik, dengan tidak sengaja begitu saja membiarkan Cuplik mengejar si kucing tersebut.
Kumprit berupaya mengejar Cuplik, tapi tak berhasil.
Cuplik yang gesit hilang dari pandangannya. Berjam-jam Kumprit mencoba untuk
terus mencarinya, tapi ia hanya menemui ketiadaan.
Kumprit berpikir bahwa betapa sialnya koinsidensi
antara ia yang lengah memegang tali Cuplik dan si kucing yang tiba-tiba
melompat tepat di hadapan Cuplik—yang membuat Cuplik mengejarnya. Koinsidensi
yang sial, menurutnya.
Berhari-hari ia tetap berupaya untuk bisa menemukan
Cuplik dengan cara menyebarkan pamflet kehilangan di jalan-jalan. Seminggu
kemudian, pintu rumah Kumprit diketok oleh seseorang. Ketika ia membukanya, ia
menatap seorang gadis muda yang membawa anjing. Cuplik akhirnya kembali ke
tangan Kumprit.
Beruntungnya, bukan hanya Cuplik yang didapatkan oleh
Kumprit, melainkan juga si gadis muda tersebut, Dara. Akhirnya mereka berdua
memutuskan untuk berkencan dan kemudian menjalin hubungan.
Apa yang dianggap Kumprit sebelumnya sebagai “koinsiden
yang sial” kini berbanding terbalik. Baginya, betapa beruntungnya ia
mendapatkan Dara, dan itu takkan mungkin terjadi apabila si kucing tidak
melompat di hadapan Cuplik, yang membuatnya lari mengejar si kucing. Kehilangan
Cuplik yang dianggap sebagai kesialan kini ia pahami sebagai “keberuntungan”
yang hanya, dan hanya terjadi, dengan “kesialan” di kali pertama.
Suatu petang Kumprit dalam perjalanan menjemput Dara
untuk berkencan di suatu tempat. Masih dalam perjalanan, tepatnya di lampu lalu
lintas, ia berhenti. Tak dinyana-nyana, dari belakang sebuah mobil melaju
kencang menabrak tepat bagian belakang mobil Kumprit, sehingga mobilnya pun
terpental berputar-putar.
Betapa malangnya Kumprit, karena hendak menjemput
Dara, di arah yang tepat dan waktu yang tepat, malah mengantarkannya ke sebuah
petaka yang tak dinyana-nyana. Andai ia tak bertemu Dara, tak kehilangan
Cuplik, tak ada kucing melompat, tak lalai memegang tali anjingnya: kecelakaan
itu tak mungkin ada, bahkan untuk sekadar dibayangkan.
Pihak rumah sakit memeriksa otak Kumprit barangkali
ada pendarahan internal atau kerusakan otak parah. Ketika sadar, Kumprit
mendapati dirinya telah dirawat di sebuah kamar di sebuah rumah sakit.
Tak lama, seorang dokter masuk ke ruangannya dan
bertanya. Si dokter menginformasikan dua hal, baik dan buruk. Kabar baiknya:
dokter menemukan tumor kecil di otaknya. Bagi Kumprit, itu kabar buruk. Kabar
buruknya: dokter menemukan tumor kecil di otaknya. Bagi Kumprit, dua kabar itu
sama saja.
Menurut Kumprit, dokter hanya menginformasikan kabar
yang sama dua kali. Tapi menurut dokter tidak, bahwa kabar baiknya tumor kecil
itu ditemukan sebelum ia membesar karena biasanya penderita hanya akan
mengetahui adanya tumor ketika sudah membesar dan menyebar dan si penderita sudah
merasakan simtom-simtomnya. Dan ketika sudah di fase seperti itu, tumor sudah
menyebar dan sulit diatasi.
Dalam kasus Kumprit, menurut si dokter, beruntung
sekali tumor tersebut ditemukan sebelum waktu pembesarannya. Hal ini, kata
dokter, tak akan mungkin terjadi apabila Kumprit tidak mengalami kecelakaan—yang
memaksa dokter memeriksa bagian otak. Dengan kata lain, kecelakaan itulah yang
menolong nyawa Kumprit dari serangan tumor.
Paradoks memang. Kumprit membayangkan bagaimana
mungkin kecelakaan yang baginya sangat sialan itu merupakan tolak
keberuntungannya di kemudian hari. Kumprit merasa lega dibarengi ngeri yang
getir untuk mencerap rentetan pengalamannya yang berkesambungan.
Andai ia memegang tali anjingnya erat-erat dan tak ada
kucing melompat; andai Dara tak menemukan Cuplik dan mengembalikan ke rumahnya;
andai Kumprit tak berkencan dan menjalin hubungan dengan Dara; andai pada hari
kecelakaan itu ia tak ada rencana berkencan dan tak ada mobil yang menghantam
mobilnya dari belakang; pastinya adalah sebuah pengandaian juga bagi si dokter
untuk mendapati tumor kecil di otaknya.
Operasi pengangkatan tumor pun berhasil, Kumprit
melanjutkan hidup dengan Dara. Sesuatu yang buruk nyatanya sesuatu yang bagus,
dan sesuatu yang bagus nyatanya sesuatu yang buruk. Kumprit akhirnya menyadari
bahwa betapa kecil dirinya untuk bisa mengenali apa sebenarnya sesuatu
itu, bahwa ia tak pernah bisa tahu suatu sisi lain, tepi lain, atau bagian dari
apa yang menerpa dirinya. Entah itu baik atau buruk, beruntung atau malang,
semuanya menerpanya sebagai paradoks yang tak berjawab.
1/4/2021
0 Komentar