Ad Code

Responsive Advertisement

Mungkinkah golput itu tidak mungkin?

Mungkinkah golput itu tidak mungkin? Pertanyaan ini benar-benar berjumpa di hadapan ujung tombak jawaban yang mengancam keberlangsungan hajat orang di sana dan di sini.

Sebelum melanjutkannya, berhubung aku cukup awam mengenai diskursus politik, tetapi aku ingin meringkaskan definisi politik: sikap yang dipertimbangkan secara rasional dan dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan ruang publik yang memiliki konsekuensi sosial di masa depan.

Mungkin kita semua dapat setuju terhadap definisi tersebut (atau tidak setuju, bukan masalah, Anda tentu boleh mendefinisikannya sendiri). Lebih ringkas: kita tidak pernah punya peluang untuk apolitis; kita niscaya bersikap politis, melek politik, meski dengan ketidakma(mp)uan berkecimpung secara konkret di dalamnya.

Di koran-koran yang ketika pagi tergelatak di samping kopi dan Anda membacanya dengan mata yang masih belekan, Anda akan sering menjumpai frasa (politik adalah) “hajat bersama”. Akan tetapi, apakah hajat di sini (tidak)sama dengan hajat di sana? Anda telah menyimpan jawabannya di kantong pikiran Anda.

Jadi, frasa “hajat bersama” adalah semu, taksa, samar, ambigu, dan membuat mata politis kita rabun jauh, lalu hanya dapat menebak-nebak (rekayasa) apakah selanjutnya yang tampil di hadapan politik virtual kita.

“Memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk,” kata imperatif moral. Pertanyaannya adalah (tidak)mungkinkah? [Aku tidak punya kapabilitas untuk menjawabnya] ... Generasi milenial dan Z kita adalah generasi yang dihadapkan pada prevalensi bahwa “kita harus melek politik”. Dengan kata lain, kampanye antigolput merupakan iklan best-seller yang memikat para konsumen dengan masif.

Jika ada pertanyaan “(tidak)bolehkah saya golput?” mungkin jawabannya akan hadir menjadi berpuluh-puluh lembar dalam satu makalah (mari kita menghindari arogansi untuk menjawabnya). Tetapi begini, golput tidak bisa kita katakan sebagai sebuah sikap apolitis: sama sekali tidak! Golput juga didasarkan pada sebuah pertimbangan rasional yang memiliki konsekuensi sosial.

[Aku pribadi bukan golput, melainkan golprit, golongan kumprit]. Dengan kata lain, golput bukan tindakan amoral. Malangnya, tulisan ini tidak untuk membela tindakan golput [Toh tindakan golput tidak sekadar disebabkan oleh ketidakma(mp)uan menentukan pilihan, tetapi bisa juga faktor akses memilih yang bersifat teknis].

Memilih adalah ujung dari keputusan politis yang didorong oleh tanggapan rasionalitas kita terhadap ruang publik kita bersama, hajat yang di dalamnya kita bernegara. Sayangnya, lagi-lagi, kita berjumpa kembali dengan sebuah pengertian yang di dalamnya kita bernegera atau di dalamnya kita sebagai warga negara. Peng(e)rtian itu pasti kbisa kita ketahui dalam benak pikiran, tetapi tidak pernah kita ketahui dalam peng(a)artian konkretnya.

Siapakah yang sedang bernegara? Siapakah sebenarnya yang nenjadi warga negara? Dan apa sih ‘negara’? [Berhubung bacaan kanonikku tentang politik minim, maka aku tidak akan menjawab ketiga tanda tanya tersebut, melainkan langsung mendatangi logika Bung Karno].

(Meminjam silogisme Bung Karno), “Militer adalah alat negara; negara adalah alatnya rakyat. Jadi, militer adalah alatnya alat.” Istilah “militer” tentu bisa kita ganti dengan “pasangan calon” atau apa pun yang akan kita coblos nanti.

Mereka yang terdaftar dalam kertas pemilu, bukan sekadar alat rakyat, melainkan hanyalah alatnya alat. Namun, kini, silogisme semacam itu hanya dapat kita jumpai dalam ruang ideaasional/gagasan/pikiran murni; sedangkan pada realitas sosial yang basah, kita hanya digenangi oleh banjir kebatilan. Karena, kita tiba pada mendung tanda tanya, “Kini, siapa alat dan siapa pemakai alat? Siapa yang memperalat siapa?”

Pada akhirnya kabut tebal turun begitu cepat dan memburamkan pandangan jangka panjang kita. Kita rabun melihat jarak jauh. Apakah Anda sudah memakai kacamata? Lihatlah, kabut tebal ini terbuat dari besi kecurangan dan iklan-iklan baliho melalui agitasi yang semarak. Saat ini kita harus menentukan pilihan, termasuk memilih untuk tidak memilih dan juga memilih untuk tidak lagi tidak memilih.

Dalam rangka menerjang kabut tebal tersebut, dan juga di tengah kekacauan fanatisme mazhab paslon, kita harus menjalaninya dengan cekakak-cekikik politis! Aku pribadi memproklamirkan fatwa, “Dukunglah paslon X dengan cara mencoblos paslon Y, dan sebaliknya, dukunglah paslon Y dengan cara mencoblos paslon X.”


 Fatwa tersebut akan menggelisahkan kita saat berdiri di depan kotak pemilu, dan memang seyogianya, kita harus gelisah dalam memutuskan untuk mendunkung dan/atau mencoblos siapa. Gelisah membuat Anda mengambil jarak terhadap sesuatu yang ada di hadapan Anda, lalu merangsang Anda untuk menimbang-nimbang (ulang), memampukan untuk—meminjam term Derrida—différance [to differ and to defer], membedakan dan menangguhkan keduanya.

Dengan itulah Anda akan tahu bahwa kegelisahan itu lebih ontologis ketimbang fanatisme mazhab paslon! Mari kita rayakan (hari) différance ala Derrida. Selamat berderridean![]

*Ditulis pada 17/4/2019

Posting Komentar

0 Komentar