Rasa takut (furcht) yang dialami manusia memang tak serupa dengan ketakutan seekor tikus terhadap seekor kucing. Ketakutan, selain sebagai ketersingkapan Ada yang bukan sekadar cipratan emosi, nyatanya rentan menggoncang dunia makna yang dimukimi oleh Dasein. Ia mengancam struktur Ada kita (in-der-Welt-sein), membuat kita merasa “tak kerasan” bermukim dalam situasi itu. Jadi, rasa takut menggegarkan ketersituasian kita.
Seyogianya, ketakutan senantiasa bertolak dari
pencandraan apriori atas yang-akan, atau yang-belum. Namun, rasa takut bukanlah
entitas otonom yang ada dengan sendirinya. Ia merupakan perasaan yang
direfleksikan oleh “entitas lain yang menyelubung”. Ia selalu berlaku sebagai
frasa “takut akan anu”.
Nah, ketika “anu” telah menyeruak (aktual), terpampang
dan memapas langsung “subjek-yang-takut”, pada saat itulah si “anu” melucuti
(atau kemungkinan juga “melecuti”) habis-habisan “rasa takut” tersebut.
Kemudian, mencuatlah dua kemungkinan potensial.
Pertama, “takut akan anu”
telah lenyap karena realitas telanjang telah mengekspos dirinya—saat itu
perasaan kita langsung bereaksi dan berkonsolidasi. Syahdan, ia kemungkinan
besar bergeming, binasa. Kedua, “takut akan anu” tetap berlanjut, sebagai
konsekuensi logis dari sekuensi peristiwa atas yang-akan, sebuah kesinambungan
dari keniscayaan “Ada-yang-menatap-ke-depan”.
Kemungkinan pertama hanyalah sebuah kemungkinan
teoretis semata, karena manusia—selagi ia masih mengada-di-dunia—masih harus
tetap bergolak secara otentik dengan suasana hatinya (Stimmung).
*22/5/2021
0 Komentar