Ad Code

Responsive Advertisement

Tentang film, tentang dunia yang hanya kerap ditonton tak dinarasikan [bagian satu]

Sebuah film adalah sebuah dunia bersama problemnya. Film merupakan seni yang agregatif, karena ia menggubah sesuatu secara komplit, mulai dari seni plastis, musik, tari/gerak, sastra, lukis, teater, dan arsitektur. Kita tidak sedang membicarakan film-film borjuistik, yang menurut saya ialah film yang diproduksi dengan cara kapitalisasi seni demi keuntungan finansial.

Film-film borjuistik, secara sinematografis merupakan film yang dikemas untuk hasrat pasar mainstream yang haus hiburan secara visual. Sedangkan secara naratif, film borjuistik dikhotbahkan secara otoriter untuk menuntun penonton dari awal hingga akhir mengikuti pemahaman sutradara dan penulis naskah.

Dalam arti lain, film jenis ini—yang bertebaran dan digemari di pasaran—menyajikan instanisme cerita yang meninabobokan penonton agar tetap terlelap dalam kebenaran-tunggal yang dikhotbahkan sang sutradara/penulis naskah. Penonton dimanjakan dengan fasilitas visual, menjilati alur yang beruntung, dan mengecapi narasi yang gamblang (dalam film ini, sepertinya sang sutradara sedang memasak mi instan, penonton tinggal maem doang ... lalu kenyang.)

Film borjuistik dapat di-screenshot menjadi dua gambar: (1.) Kapitalisme dan (2.) Instanisme. Keduanya berkelindan, satu tubuh, seperti dua sisi uang koin.

Lepas dari film-film borjuistik, kita akan membahas epistemologi, ontologi, dan aksiologi film. Secara epistemologis, film ditimba dari realitas, baik realitas konkret maupun realitas imajinatif. Di dalamnya, kedua-duanya membopong khazanah pengetahuan.

Sebagai yang-konkret, film dapat mengingatkan kita pada masa silam; semacam ini tentu memerlukan sorotan historis dan penggalian arkeologis. Kendati demikian, yang-konkret juga dapat mengejawantah pada masa sekarang. Ia dapat mengilustrasikan, merefleksikan, menggebrak atau menggugat, dan menerapi realitas kekinian yang patologis. Bisa bermacam-macam, dengan tilikan-tilikannya yang tajam, penyajian film dapat membengkokkan, mendobrak, atau merestorasi pengetahuan taken for granted kita yang sebelumnya tak pernah kita periksa.

Sedangkan sebagai yang imajinatif, dalam pengingatan pada masa silam, film bukan sekadar mereartikulasikan atau mereproduksi kesilaman tersebut, melainkan ia dapat menakwilkan, memproduksi, membabarkan pemaknaan-pemaknaan baru. Pun, yang-imajinatif dapat muncul sebagai bentuk ekspresi pada masa sekarang. Ia merehabilitasi realitas konkret yang liar dan pening ini dengan memberikan penetrasi-penetrasi baru sebagai alternatif menuju yang-ideal.

Kekinian ditaburi tata nilai, tatap pandang, dan ratap renungan dalam memugarkan penghayatan atas realitas yang selalu baru. Pada masa depan, imajinasi film memiliki lahan yang luas, digarap dengan cara mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan mendatang yang dipandang dari determinasi kekinian.

Masa depan dapat dihitung dari tabungan-tabungan kumulatif dengan perantara pengetahuan futuristik nan canggih. Atau bahkan, dapat pula meminjam 'mata-lain' untuk menengok, mengintip, hingga menebak sesuatu yang melampaui realitas natural. Dengan meminjam mata-lain, eskatologi sebagai yang-akan dapat menjadi yang-mungkin untuk hadir dalam penghayatan pada masa sekarang.

*13/5/2021



Posting Komentar

0 Komentar