Sebuah film adalah sebuah dunia bersama problemnya. Film merupakan seni yang agregatif, karena ia menggubah sesuatu secara komplit, mulai dari seni plastis, musik, tari/gerak, sastra, lukis, teater, dan arsitektur. Kita tidak sedang membicarakan film-film borjuistik, yang menurut saya ialah film yang diproduksi dengan cara kapitalisasi seni demi keuntungan finansial.
Film-film borjuistik, secara sinematografis merupakan
film yang dikemas untuk hasrat pasar mainstream yang haus hiburan secara
visual. Sedangkan secara naratif, film borjuistik dikhotbahkan secara otoriter
untuk menuntun penonton dari awal hingga akhir mengikuti pemahaman sutradara
dan penulis naskah.
Dalam arti lain, film jenis ini—yang bertebaran dan
digemari di pasaran—menyajikan instanisme cerita yang meninabobokan penonton
agar tetap terlelap dalam kebenaran-tunggal yang dikhotbahkan sang sutradara/penulis
naskah. Penonton dimanjakan dengan fasilitas visual, menjilati alur yang
beruntung, dan mengecapi narasi yang gamblang (dalam film ini, sepertinya sang
sutradara sedang memasak mi instan, penonton tinggal maem doang ... lalu
kenyang.)
Film borjuistik dapat di-screenshot menjadi dua
gambar: (1.) Kapitalisme dan (2.) Instanisme. Keduanya berkelindan, satu tubuh,
seperti dua sisi uang koin.
Lepas dari film-film borjuistik, kita akan membahas
epistemologi, ontologi, dan aksiologi film. Secara epistemologis, film ditimba
dari realitas, baik realitas konkret maupun realitas imajinatif. Di dalamnya,
kedua-duanya membopong khazanah pengetahuan.
Sebagai yang-konkret, film dapat mengingatkan kita
pada masa silam; semacam ini tentu memerlukan sorotan historis dan penggalian
arkeologis. Kendati demikian, yang-konkret juga dapat mengejawantah pada masa
sekarang. Ia dapat mengilustrasikan, merefleksikan, menggebrak atau menggugat,
dan menerapi realitas kekinian yang patologis. Bisa bermacam-macam, dengan
tilikan-tilikannya yang tajam, penyajian film dapat membengkokkan, mendobrak,
atau merestorasi pengetahuan taken for granted kita yang sebelumnya tak pernah
kita periksa.
Sedangkan sebagai yang imajinatif, dalam pengingatan
pada masa silam, film bukan sekadar mereartikulasikan atau mereproduksi
kesilaman tersebut, melainkan ia dapat menakwilkan, memproduksi, membabarkan
pemaknaan-pemaknaan baru. Pun, yang-imajinatif dapat muncul sebagai bentuk
ekspresi pada masa sekarang. Ia merehabilitasi realitas konkret yang liar dan
pening ini dengan memberikan penetrasi-penetrasi baru sebagai alternatif menuju
yang-ideal.
Kekinian ditaburi tata nilai, tatap pandang, dan ratap
renungan dalam memugarkan penghayatan atas realitas yang selalu baru. Pada masa
depan, imajinasi film memiliki lahan yang luas, digarap dengan cara
mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan mendatang yang dipandang dari determinasi
kekinian.
Masa depan dapat dihitung dari tabungan-tabungan
kumulatif dengan perantara pengetahuan futuristik nan canggih. Atau bahkan,
dapat pula meminjam 'mata-lain' untuk menengok, mengintip, hingga menebak
sesuatu yang melampaui realitas natural. Dengan meminjam mata-lain, eskatologi
sebagai yang-akan dapat menjadi yang-mungkin untuk hadir dalam penghayatan pada
masa sekarang.
*13/5/2021
0 Komentar