Ad Code

Responsive Advertisement

Ketika aku mengaduk segelas kopi “dengan sendok”, di manakah sendok itu?

Ketika aku mengaduk segelas kopi “dengan sendok”, di manakah sendok itu?


Dalam sudut pandang “aku” sebagai pelaku, sendok itu tidak ada, tidak masuk dalam radar kesadaranku ketika, dan hanya ketika, aku sedang menggunakannya. Di sini, sendok, secara eksistensial, adalah aku yang memanjang, kebertubuhanku menyatu dengan sendok (sebagai alat) yang kugunakan.

Sebagai perpanjangan dari diriku, sendok tidak mendua dari “aku”, sebab sendok luruh dan melebur dalam aku-yang-sedang-mengaduk-segelas-kopi. Akan tetapi, ketika tiba-tiba sendok itu patah, entah karena satu atau lain alasan, aku sekonyong-konyong “sadar” atas “ke(ber)adaan” si sendok: sendok itu menjadi tampak mencolok, transparan bagiku, sebab “dualitas” kebertubuhan antara aku dan sendok menabuh, sehingga aku mendengar suara keterpisahan entitas yang kugunakan itu terang-benderang.

Sendok menjadi tembus pandang ketika, dan hanya ketika, rusak, tak berjalan sebagai alat, tak lagi berfungsi.

*16/8/2021


Posting Komentar

0 Komentar