Banyak orang bilang, “Orang cerdas adalah yang bisa menjelaskan sesuatu yang rumit dengan sederhana kepada semua kalangan.” Ini tentu simplifikasi kasar.
Memang, seseorang bisa menjelaskan sifat dualitas
cahaya dalam fisika modern kepada semua kalangan, bahkan kepada anak-anak,
tetapi tentu yang ia sedang jelaskan merupakan simplifikasi, lebih tepatnya “reduksi”
atas sesuatu yang amat runyam, yang bahkan menurut si penjelas sendiri,
sekalipun dijelaskan pada “kalangan khusus” realitas itu cukup mustahil diverbalisasikan;
kalaupun bisa, itu hanyalah potongan terkecil—apalagi dijelaskan ke semua
kalangan.
Penting kutegaskan: tidak mustahil bahwa penjelasan
yang disuguhkan kepada semua kalangan sebenarnya “bukanlah
penjelasan-yang-menjelaskan-yang-dijelaskan”. Kita ini kerap kali bersifat
egois, lebih tepatnya tidak menyadari kebebalan, dengan mencerca, “Saintis itu
tidak cerdas, tidak sanggup menjelaskan sesuatu ke semua kalangan.”
Kalimat itu tentu dengan sengaja melabeli si saintis
sebagai pandir karena tidak dapat memerikan suatu hal pada kita, yang padahal,
sebenarnya kitalah yang pandir dan berpura-pura tidak, kemudian mengelak dari
kenyataan kepandiran itu.
Seorang seniman tak mungkin bisa menjelaskan
pengalaman artistiknya pada bocah kelas lima, kalaupun bisa itu pasti reduksi.
Hanya orang yang sama-sama mengalami yang dapat mengetahui apa yang sedang
diperikan. Ini signifikan dicecap. Jadi, kalimat pertama dari artikel ini hanyalah
alibi dari kita untuk mengelak dari kebodohan sendiri dan membodohkan
orang-berpengetahuan.
Satu hal yang pasti, sebagaimana para bijak bestari
serukan: “Warna air adalah warna bejana.” Jika air kita berwarna pekat, itu
tandanya memang bejana kita pekat. Pengetahuan datang dari kesiapan internal
(predisposisi/isti'dād).
Jika memang tidak/belum siap memahami dualitas sifat cahaya, tidaklah tepat
melemparkan olokan, “Saintis itu tidak cerdas.”
Mari kita menyadari kebodohan sendiri dan menghindari
membodohkan orang berpengetahuan.
*18/2/2022
0 Komentar