Ad Code

Responsive Advertisement

“Mengapa manusia perlu menikah?” tanyaku.


“Mengapa manusia perlu menikah?” tanyaku.

“Aku tidak,” tukasnya.

“Maksudmu? Selamanya?” balasku kaget.

“Iya. Karena bagiku menikah itu perbudakan.”

“O, sungguh?”

 

Aku benar-benar kaget ketika seorang perempuan belia yang masih berusia 17 tahun berani meneguhkan pandangan hidup semacam itu. Dia mengajukan beberapa alasan yang tentu saja bagiku amat rasional. Aku sependapat dengannya pada satu titik, tapi di lain titik aku tentu mesti mengajukan keberatan yang sungguh-sungguh berat.

Di satu sisi, tak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangannya itu adalah asuhan dari suatu horizon yang luas. Tapi di sisi lain, itu menjadi buruk jika dia tiba-tiba dengan gagah berani mengklaim bahwa itulah finalitas dari horizon tepermanai, yang coba digenggamnya.

“I’m an atheist,” teguhnya.

Sehingga tak dapat terhindarkan baginya untuk mengambil premis-premis agama yang dianggap biang keladi olehnya sebagai jembatan yang mengantarkannya pada simpulan tegas bahwa “pernikahan itu perbudakaan bagi perempuan”. Dalam separuh garis aku mengafirmasi, tapi di separuh garis selanjutnya aku mengoyak-oyak titik pijak argumentasinya, mengajaknya menilik lagi secara jernih mengenai ular yang memakan ekornya.

*5/7/2021




Posting Komentar

0 Komentar