Ad Code

Responsive Advertisement

Merenungi sebuah koma: taklikat atas Kompas 21 April 2020, Kolom Bahasa

Saya tidak tahu mengapa penulisan koma apositif, dalam beberapa bulan saya mengikuti Kompas, menjadi berubah. Memang, penilikan Siregar dalam kolomnya benar-benar menggamblangkan bahwa kita perlu reevaluasi tentang penghilangan koma apositif yang dapat menimbulkan kerancuan penyematan makna.

Sebenarnya tidak hanya koma apositif saja yang bergerak dari dunia kepenulisan kita, tetapi koma paralel yang biasanya terletak sebelum konjungsi “dan” dalam (peringkasan) dari kalimat majemuk setara juga kerap kali dihilangkan. Ini buruk.

Saya pribadi, bukan tidak suka, tetapi tidak bisa membenarkan, apalagi ketika kita tumpuk klausa tersebut dengan subklausa yang kompleks dan penuh liuk koma serta konjungsi “dan”. Contoh sederhana: dini hari ini kau dirasuki sepi dan lindap, gerimis dan dingin dan luka yang terus kupahat. Penghilangan koma setelah “dingin” itu agak membingungkan, sekaligus buruk dilihat—terkecuali kita menulis puisi.

Kembali ke persoalan koma apositif. Setahu saya, gramatika bahasa kita tiba-tiba dirasuki oleh gramatika bahasa lain. Persoalan menjelaskan (M) dan dijelaskan (D) ini cukup pelik, apalagi kalau kita menghadapi M yang restriktif (tanpa diapit dua koma) karena D tak jelas dan yang non-restriktif (diapit dua koma) karena D sudah jelas.

Hal itu akan mengundang polemik pada tolok ukur pemahaman seseorang terhadap D-nya. Bagi saya, Phil Collins, misal, sudah terang benderang, tetapi bagi ibu saya belum. Nah, penulis yang sekaligus begawan gramatika mesti pening apakah ia harus membubuhkan koma apositif (yang berguna untuk saya) atau tanpa koma apositif (yang berguna untuk ibu saya). Itu problem semantis. Belum lagi penumpukan nama yang diajukan Siregar dalam kolomnya ini, menyuguhkan kerancuan sintaksis.

*21/4/2020

Posting Komentar

0 Komentar