Saya tidak tahu mengapa penulisan koma apositif, dalam beberapa bulan saya mengikuti Kompas, menjadi berubah. Memang, penilikan Siregar dalam kolomnya benar-benar menggamblangkan bahwa kita perlu reevaluasi tentang penghilangan koma apositif yang dapat menimbulkan kerancuan penyematan makna.
Sebenarnya tidak hanya koma apositif saja yang
bergerak dari dunia kepenulisan kita, tetapi koma paralel yang biasanya
terletak sebelum konjungsi “dan” dalam (peringkasan) dari kalimat majemuk setara
juga kerap kali dihilangkan. Ini buruk.
Saya pribadi, bukan tidak suka, tetapi tidak bisa
membenarkan, apalagi ketika kita tumpuk klausa tersebut dengan subklausa yang
kompleks dan penuh liuk koma serta konjungsi “dan”. Contoh sederhana: dini hari
ini kau dirasuki sepi dan lindap, gerimis dan dingin dan luka yang terus
kupahat. Penghilangan koma setelah “dingin” itu agak membingungkan, sekaligus
buruk dilihat—terkecuali kita menulis puisi.
Kembali ke persoalan koma apositif. Setahu saya,
gramatika bahasa kita tiba-tiba dirasuki oleh gramatika bahasa lain. Persoalan
menjelaskan (M) dan dijelaskan (D) ini cukup pelik, apalagi kalau kita
menghadapi M yang restriktif (tanpa diapit dua koma) karena D tak jelas dan
yang non-restriktif (diapit dua koma) karena D sudah jelas.
Hal itu akan mengundang polemik pada tolok ukur
pemahaman seseorang terhadap D-nya. Bagi saya, Phil Collins, misal, sudah
terang benderang, tetapi bagi ibu saya belum. Nah, penulis yang sekaligus begawan
gramatika mesti pening apakah ia harus membubuhkan koma apositif (yang berguna
untuk saya) atau tanpa koma apositif (yang berguna untuk ibu saya). Itu problem
semantis. Belum lagi penumpukan nama yang diajukan Siregar dalam kolomnya ini, menyuguhkan
kerancuan sintaksis.
*21/4/2020
0 Komentar