Pada dua bola mataku, kurebahkan tubuhmu, menempel di kacamata yang tiap hari ‘kan kuseka dengan tatapan matamu, yang lekas-lekas raib digiring angin, padahal hendak kukawinkan di pelaminan dadaku.
Letih. Rintih. Lirih. Aku berlatih mendekap kosong
agar berjumpa senyap. Merinding. Menghindar. Mengelak. Namun, tetap tak dapat
kutolak. Ingin kutabung gandrungku padamu: tapi takut, ngeri, dan jijik telah
menyelimuti liang nyawa pada rasa.
Jarak pada tiap langkah kakiku kuukur, meraba jejakmu,
menghirup sisa harummu. Dengan dua tongkat di kanan-kiri, jalanku
tertatih-tatih. Menanti tolehanmu, tolehan yang menoreh pelangi di kanvas
hidupku, sembari itu (kelak) kau anggukkan senyummu, senyum yang membuat
nalarku terenyuh, serta sanggup menyentuh ulu hatiku.
Dan senyummu, senyum yang melobangi hatiku. Duh [bila
Tuhan memperkenankan] aku berjanji ‘kan bermukim di lobang itu. Selama-lamanya,
selama ragaku habis kembali ke tanah. Pada dua bola mataku, tanah kelahiran
cintaku padamu, rebahlah hadirmu.
30/7/2018
0 Komentar