Apakah memaafkan adalah hal-yang-mungkin? Untuk mengetahui mungkin atau tidaknya, kita mesti mengecek status ontologis dari permaafan.
Tindak memaafkan, terlepas dari momen saling memaafkan
di Idulfitri yang seremonial, menjadi “problematis” apabila pemaafan tersebut
tidak menjangkar sepenuhnya sebagai aksi dari si subjek.
Memaafkan, sesungguhnya, dalam pengartian
eksistensialnya, yang acap kali tak terhikmati, tidak bisa dideterminasi oleh
gejala-gejala eksternal dan superfisial. Memaafkan menjadi artifisial apabila
ia menyembul hanya karena, entah dengan satu cara maupun banyak cara, munculnya
“permintaan maaf” dari pelaku yang bersalah. Jika halnya demikian, memaafkan
tampak tidak autentik, bukan suatu revolusi dari dalam dan dengan dirinya
sendiri—ia bukan sebuah panggilan, melainkan sebuah tanggapan.
Selain itu, kita seyogianya dapat mencenungkan bahwa
tindak memaafkan menjadi, dan hanya menjadi, autentik apabila yang dimaafkan
adalah sesuatu/seseorang-yang-takbisa-dimaafkan. Pengoperasian pemaafan selama
ini acap kali hanya menyasar tindakan-yang-dapat-dimaafkan. Lalu bagaimana
dengan yang-takdapat-dimaafkan? Akankah si pemaaf masih bisa memaafkan
hal-yang-takdapat-dimaafkan?
Apabila kita memberikan jawaban negatif, tentu saja
menjadi kontradiktif dan memunculkan pertanyaan, “Lalu apa fungsi memaafkan?”
Kita tiba pada suatu aporia pemaafan, di mana seseorang, secara
imperatif, dilempar pada dimensi vakum untuk memaafkan yang-takdapat-dimaafkan:
“sebuah tindakan, bukan paling, melainkan terlalu kejam (untuk bisa
dimaafkan)”, misalnya.
Hal itu menjadi yang-takmungkin bagi dunia mungkin
kita, yang di dalamnya pemaafan selama ini hanya bermanuver pada sebuah tindak
pemaafan bersyarat. Jika kita berani menarik ke garis terjauh dari dunia
mungkin kita, maka seyogianya tindak pemaafan merengkuh
suatu-hal-yang-takdapat-dimaafkan dan sekaligus tak dideterminasi oleh aspek
luaran apa pun yang menstimulasi hal itu.
Dari sini, akhirnya kita tahu bahwa pengoperasian
pemaafan kita acap kali terperosok pada suatu pemaafan bersyarat, yang
lekas-lekas kita temui pemerian inautentisitasnya, karena tidak berjangkar pada
tindakan paling ultim dari batas terjauh sikap kita untuk melihat yang-takmungkin.
Permintaan maaf terus menginterupsi, dan menginterupsi
terus, sampai-sampai kita lupa bagaimana memanuverkan pemaafan takbersyarat,
pemaafan revolusioner: pemaafan luhur yang tak (mau) dirangsang oleh permintaan
maaf itu sendiri.[]
12/5/2021
0 Komentar