Ad Code

Responsive Advertisement

Tidak setiap penulis bisa menulis

Ketika nonton video yang bagus dan kece dari aspek grafis, kita pasti aplaus langsung ke sang editor videonya. Begitu pula yang terjadi ketika melihat sebuah rumah megah yang memikat mata, kita melayangkan pujian kepada si arsiteknya.

Terkesima oleh sebuah lukisan dengan campuran warna yang elok, kita memuji pelukisnya. Akan tetapi, dengan amat malang, ketika kita membaca sebuah tulisan yang kenyal, rapi, dan bergigi, kita hanya mengapresiasi penulisnya.

Lho ada yang salah kalau kita mengapresiasi penulisnya langsung?” mungkin tanyamu begitu. Menurutku, sungguh iya, dan fatal. Fakta di lapangan, menulis itu berbeda dengan kesemua bidang yang kusebut sebelumnya.

Secara mutlak memang seorang arsitek bisa (punya kapabilitas) merancang sebuah cetak biru untuk sebuah bangunan atau tempat; begitu pula desainer, pelukis, pengarang lagu, pemahat, perupa, dan semua pekerja kreatif lainnya yang merupakan satu-satunya aktor yang berperan fondasional dalam karya mereka. Tidak dengan tulisan, tidak dengan seorang penulis.

Fakta yang mengejutkan ialah tidak banyak penulis yang bisa menulis, atau maksimalnya mereka hanya sekadar bisa menumpahkan bising di kepala mereka agar bising itu dapat didengarkan oleh telinga orang lain, dan mereka tidak mengerti bagaimana cara mengubah bising itu menjadi bunyi yang ritmis dan melodis, terutama “pantas” untuk didengarkan oleh orang lain.

Tidak banyak penulis yang benar-benar penulis. Aneh, kan? Kuulangi lagi: tidak banyak penulis yang benar-benar penulis, contradictio in terminis. Dan, yang berperan fondasional dalam membantu mereka, para-penulis-yang-tak-mampu-menulis-itu, adalah si penyunting.

Tak seorang pun yang pernah mengapresiasi si penyunting itu, nyawa satu-satunya dalam tulisan tersebut. Besar kemungkinan tanpa kehadirannya, kita akan mengolok, “Tulisan macam apaan ini, berantakan tak keruan. Bising! Tak enak didengar.” Dan barangkali juga tak pantas didengar. Namun, ketika tulisan itu usai diurai dan dirajut-sulam oleh si penyunting yang sabar dan telaten, kita hanya, “Eh tulisanmu bagus lho.”

Kita tak tahu bahwa tulisan itu bertumpu di punggung sang penyunting. Sang penyunting merelakan punggungnya terbungkuk karena menggendong tulisan itu, yang membuat kepalanya hanya tertunduk menghadap ke tanah, sehingga tak seorang pun yang dapat mengenali wajahnya. Makanya, semua pujian diamplopkan ke si penulis, yang sebenarnya tak bisa menulis.

Yang ingin kustabilo di sini adalah 1) sejauh ini yang kutahu hanya menulis yang kerjanya tidak bisa dinisbahkan langsung ke si pekerjanya, 2) desainer, pelukis, arsitek, dan sebagainya bekerja karena memang mereka mampu. Lain halnya dengan para penulis, sebab sungguh banyak penulis yang sebenarnya belum bisa menulis, termasuk aku di dalamnya. Eh, goblik, aku kan duduk penulis, ndeng, cuman pengumprit. #Kumpritologi #KitabKumprit

*7/11/2021



Posting Komentar

0 Komentar