Aku belum mengenal siapa sebagai apa, gelung lempung kejadian yang datang dari apa sebagai siapa—mengapa “entah”, selain menumpahkan, juga senantiasa menambahkan misteri-misteri. Apakah itulah gulungan perkamen yang didiktekan oleh gerak-gerik hati? Tetapi, di tubir ilafi, alam mengarsir puisi, mengelir tabir kinasih.
Yang-belum akan datang ‘tuk mengurai
kepastian-kepastian, yang dengannya aku menjejakkan pandangan dengan
keragu-raguan. Hilir-mudik “aku” yang takterperi ini menambal sepetak demi
sepetak, menumbalkan ketakutan yang terus bergerak.
Dengan apa “aku” dapat mengungkap hendak, menangkap
gejolak? Tak peduli suara mengelak, gerak tetap berkecipak, memainkan bunyi
yang lunak di ujung pendengaran kuldesak. Kembali, memutar kemudi, menggeletar
hati.
“Menatap langit dengan mata langut, aku merajut bukit
dengan membopong maut,” kusapukan satu kalimat ke ruas-ruas jagat. Terus
merebahkan langkah, aku belum sempat mengenal apa sebagai siapa, gelung lempung
kejadian yang datang dari siapa sebagai apa.
*27/5/2021
0 Komentar