Tak lebih dari sepenggenapan jarum jam, penyair itu terpaksa menumpahkan kopi pahitnya yang arang. Konon, ia menyeduhnya dengan meditasi berbulan-bulan, menggentarkan.
Kini ia kalap, realitas nyatanya telah tersingkap,
yang padahal selama ini dikerudungi rangkap oleh kata-katanya yang gelap.
“Lalu bagaimana?” tanya kata-kata yang tersulam di
sekujurnya. Ia menghadap Entah, menatapnya dengan mata elang yang siap
memangsa. Ia mewiridkan sunyi, menerobos kosong yang baginya bergelimangan
arti.
“Lalu bagaimana?” waktu menampar bisu. Padahal, masih
belum lebih dari sepenggenapan jarum jam, penyair itu menyeduh kopi baru, yang
mungkin akan terus diteguknya sampai dirinya mewaktu.
4/3/2023
0 Komentar