Ad Code

Responsive Advertisement

“Rakyat kita sudah pintar”: Rakyat kita sudah pakar

Kredit: Kompas.id

“Matinya kepakaran” (the death of expertise) adalah istilah yang masih, dan masih akan terus, relevan dengan, serta menjangkar pada, perkembangan masyarakat kini dan ke depannya. Matinya kepakaran bukan sekadar indikator utuh bahwa setiap orang sekonyong-konyong menjadi “pakar” dalam segala bidang, melainkan juga justru menyodokkan langsung kenyataan bahwa memang para pakar kita tengah dibunuh secara serentak dengan kebangkitan kepakaran dalam segala hal, oleh sembarang orang.

Matinya kepakaran menyodorkan paradoksnya tersendiri. Bahwa para pakar telah mati dibunuh itu jelas, tetapi justru secara paradoksal muncullah para pakar jadi-jadian yang akumulasi pengetahuannya pun dipungut dari sembarang tempat, dari tong sampah hingga gorong-gorong. Dengan kata lain, pada satu sisi para pakar pada makna asalinya menghadapi kematian, tetapi di lain sisi para pakar pada makna tragisnya justru menyeruak serta berhamburan.

Untuk yang belakang, para pakar jadi-jadian itu tak pernah ditempa dengan sistematika metodis dan digodok melalui sistematisasi dan strukturalitas disiplin. Mereka cukup memungut quote dari sembarang orang yang juga tak jelas genealogi intelektualnya, atau mencukil dari postingan akun bodong yang jelas-jelas lisensi pengetahuannya patut dipertanyakan, dan lantas pergi menceramahi orang lain dengan menyalahkan pakar sesungguhnya.

Kita lihat betul matinya kepakaran ini pada apa yang terjadi pada musim pemilu 2024 kali ini. Kita menyaksikan setiap orang mengemukakan pendapat hukumnya, analisis kenegaraannya, dan bahkan dengan sembrono menghakimi para intelektual yang sesungguhnya. Dengan terang-terangan matinya kepakaran dipertontonkan.

Para intelektual, sarjanawan, budayawan, jurnalis kritis, pemikir terkemuka, semua pendapat dan pandangannya tak dipedulikan, tak didengarkan, dan bahkan dianggap ngibul dan partisan. Kebobrokan mana lagi yang bisa k(a)usangsikan? Arogansi menjadi pakar tanpa genealogi keilmuan dan penempaan akademis amatlah mengenaskan kita saksikan.

Semua ini tentu bukanlah anugerah dan berkah, melainkan justru musibah dan bencana. Kita tak patut mensyukuri tsunami informasi ini yang di dalamnya masyarakat kita masih mengalami vakumnya kebajikan literasi dan kecakapan filterisasi. Dan ini tentu seyogianya menarik iba dan belasungkawa, bukan malah justifikasi politik dengan selebrasi “rakyat kita sudah pintar”. Kalimat terakhir ini tragis, sebab mereka malah merayakan matinya kepakaran dengan mengeksploitasi rakyat demi menutupi aroma busuk diri mereka sendiri.

Matinya kepakaran menunjukkan bahwa, di samping fakta bahwa masyarakat kita tak memiliki kecakapan literasi, para pakar kita telah dilecehkan dari segala sudut, mulai dari yang memegang kekuasaan tak bermoral hingga warga biasa yang telah terdogmatisasi dari unggahan akun-akun buzzer di TikTok.

Bagi saya, matinya kepakaran menunjukkan satu hal gamblang: matinya kurator, kematian kegiatan mengkurasi, dan inilah era tsunami informasi yang di dalamnya tak ada lagi kurator yang mengkurasi hilir mudik informasi, mulai dari indoktrinasi, provokasi kotor, demagogi busuk, kampanye amoral, hingga dogmatisasi politik.

Matinya para pakar dan suburnya pakar jadi-jadian adalah matinya para kurator, yang semestinya setiap orang menjadi kurator masing-masing di hadapan demagogi informasi yang lacur dari para penguasa (informasi) dan kroni-kroninya.

Mari kita kembali menimba informasi dan mengguyurkan pengetahuan dari sumur para intelektual bangsa, para sarjanawan lurus, para budayawan jujur, para jurnalis kritis, dan para pemikir yang peduli nasib bangsa, bukan dari para politikus status quo, para jubir istana, para buzzer, serta tim sukses dan kroni-kroninya, atau apalagi hanya dari sebuah postingan yang berseliweran di linimasa medsos yang Anda sendiri tak pernah bisa mengingat nama akunnya.

/2-5-2024

Posting Komentar

0 Komentar