Bahasa, begitu pula sasarannya, adalah kulit. Tak pelak, bahasa merupakan indra peraba. Pada kasus tertentu ia terasa meraba kita [sebagai sasarannya] dengan lembut; sementara pada kasus lain ia terasa menggaruk, bahkan mencubit dan mengerok keras, kulit kita. Bergantung pada hasrat yang disembunyikan di balik tirai kata, bahasa bermanuver menyelesaikan misinya, sebagai “satu kulit” yang meraba “kulit lain”.
Bagi seorang pencinta [yang kebetulan juga seorang
penyair], “bahasa”-nya sekonyong-konyong menjelma kulit yang menyerempak
menyentuh kekasihnya dengan lembut, sentuhan yang dibarengi kemenggigilan
karena derap gairah yang menggerakkannya.
Bagi kekasih yang bisa merasakan sentuhan itu,
batinnya akan menggelinjang tak keruan, dan akhirnya mencicipi pula gigil
ekstasi si pencintanya. Mereka berdua pun berbagi gigil asmaraloka dan sentuhan
mesra dalam (ber)bahasa.
*2/7/2022
0 Komentar