Bayangkan kita sedang membaca buku [bukan bentuk PDF atau semisalnya]. Secara alamiah perhatian kita tertuju pada huruf-huruf yang tertulis di situ. Malangnya, kita hanya melihat rentetan huruf menjadi kata menjadi frasa menjadi kalimat menjadi paragraf dan seterusnya, dan sama sekali kita tak melihat keberadaan tinta yang padahal dengannya berjubel-jubel apa yang kita cerap tampak di hadapan kita.
Kita tak menyadari si tinta sekejap pun.
Mari kita geser sebentar kesadaran kita yang kadung
tertuju pada bentuk-bentuk huruf yang berduyun-duyun tersebut. Dengan begitu,
kita dibuat sadar bahwa secara prinsipiil huruf-huruf itu hanyalah sebuah
fiksionalitas (i'tibārī)
atau rekaan yang diasumsikan si tinta sedemikian dahsyatnya sehingga
mengerudungi keberadaan si tinta sendiri.
Seyogianya, tak dapat dielak, realitas yang menonjol
dan mencolok mata kita sebagai huruf tadi hanyalah kesepakatan sosial kita.
Nyatanya, tak kita nyana, huruf-huruf itu, dalam pengertian paling palungnya,
bukanlah realitas (haqā'iq).
Apa yang “ada” (wujūd)
di hadapan kita, pada satu aspek, sesungguhnya ialah si tinta, tak ada yang
lain. Kendati begitu, pada aspek lain, tak dapat dipungkiri bahwa huruf-huruf
itu nian nyata dan riil sejauh, dan hanya sejauh, mereka ialah kepelbagaian
bentuk-bentuk yang menyingkapkan dirinya melalui wujud si tinta, yang dalam hal
ini merupakan realitas itu sendiri, yang selalu tak pernah kita sadari ketika
membaca buku.[]
*8/3/2022
0 Komentar