Ad Code

Responsive Advertisement

Kamus, diksi, lautan, napas, kehidupan, penyair, puisi

Seorang filsuf Amerika sekaligus penyair di abad kesembilan belas, Ralph Waldo Emerson, pernah berkata, “Hidup adalah kamus kita.” Sebagai seorang filsuf sekaligus penyair, dia pasti sangat memahami kehidupan dan kamus.

Aku ingin berbicara tentang kamus (dictionary) dengan menyoroti ucapan Emerson. Seperti yang aku tahu, kamus memiliki akar kata. Akar kata dictionary adalah “diction” (diksi”: pilihan dan penggunaan kata-kata. Biasanya diksi digunakan oleh penyair untuk menulis puisi mereka.

Aku ingin mengutip penggalan puisiku, aku desir engkau dasar, rindu yang getir tak dapat meniup ke akar; dan penggalan puisi Sitok Srengenge, jangan lagi minta aku menulis cinta, sebab cinta adalah kau, tak mampu kusebut kecuali dengan denyut.

Aku tidak bermaksud membandingkan keduanya, tetapi yang aku maksud adalah cara memilih diksi. Seorang penyair harus menguasai diksi untuk menghasilkan tulisan yang energis baik dalam rima maupun makna.

Diksi menentukan kekuatan tulisan, khususnya dalam sebuah puisi. Oleh karena itu, penyair adalah orang-orang yang tidak hanya menguasai, tetapi juga berenang dalam, “kamus” karena bagi mereka kamus adalah lautan.

“Hidup adalah kamus kita,” kata Emerson. Aku mengartikan bahwa hidup adalah lautan; lautan adalah kamus tempat kita mengarungi hidup kita, dan setiap napas yang kita embuskan dan hirup adalah napas diksi. Napas kita adalah kamus.

*28/12/2020



Posting Komentar

0 Komentar