Ad Code

Responsive Advertisement

Mal, homo socious, dan homo consumericus

Bayangkan sehari yang lalu seorang pria sedang melihat-lihat di Matahari, di sebuah mal besar. Akhirnya dia menemukan barang yang dia cari. Rencan awalnya dia hanya mencari kemeja dan akan membelinya, tetapi celana jins berlabel diskon merayunya untuk dibeli juga.

Akhirnya, dia membeli keduanya. Dia pergi ke kasir dan kemudian membayar keduanya. Kasir hanya memberinya senyum mekanis. Pria itu hanya mengetahui nama kasir karena melihat emblem yang disematkan di seragamnya.

Setelah pembayaran selesai, semuanya selesai juga. Mengapa? Aku ingin berbicara tentang mal sebagai alat kapitalisme untuk memekanisasi manusia.

Selama ini kita tahu bahwa manusia adalah homo socious (makhluk sosial), tetapi kehadiran mal adalah simbol dehumanisasi, meniadakan kodrat manusia. Karena saat di mal sifat manusia terhapus, orang yang berada di mal hanya peduli dengan apa yang mereka cari, bukan lagi siapa yang mereka hadapi dan temui.

Selain itu, hubungan pembeli dan penjual di mal tidak lagi berdasarkan sifat manusia, tetapi sifat keserakahan hewani—kebanyakan orang sering membeli apa yang mereka inginkan, bukan apa yang mereka butuhkan. Apalagi komunikasi di mal hanya sebatas transaksi. Ini sangat berbeda dengan pasar tradisional yang komunikasinya adalah interaksi.

Lebih lanjut, mal menginterupsi proses tawar menawar, artinya mal menginterupsi komunikasi berdasarkan interaksi, percakapan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Di dalam mal, manusia sebagai homo socious sekonyong-konyong bertransformasi diri menjadi homo consumericus, makhluk yang serakah.[]

4/1/2021



Posting Komentar

0 Komentar