Suatu hari, seorang pencinta yang malang mengunjungi rumah kekasihnya. Dia mengetuk pintu rumahnya.
Kekasih di dalam bertanya, “Siapa di luar?”
Dia menjawab, “Aku. Orang yang mencintaimu.”
Kekasih di dalam membentak, “Pergilah! Tak ada tempat
bagi yang belum matang.”
Lalu, si pencinta malang terusir pergi.
-*
“Cogito ergo sum,” kata Descartes, seorang cenayang
Perancis. “Aku berpikir, maka aku ada.” Ini adalah dalil filosofis dalam
membentuk dunia modern. Sekarang, menurut saya, kita telah tenggelam dalam era
pascamodern di mana post-truth menjadi satu-satunya postulat.
Aku ingin mengubah diktum Descartes. Tidak lagi “aku
berpikir, maka aku ada”, tetapi “aku berbaju, maka aku ada”. Di tengah era Internet
of Things, umat manusia memadati ruang maya yang kacau balau. Ke-aku-an
terus ditampilkan di layar munafik yang menunjukkan ketiadaan.
“Aku” melambangkan “ke-aku-an” dengan baju. Baju
adalah tanda yang menandai yang ditandai. Selain itu, dewasa ini kita tahu
bahwa baju adalah salah satu alat untuk memanipulasi ke-aku-an, agar dianggap
kaya, trendi, merekayasa martabat, jabatan, pangkat, status, dan lain
sebagainya.
Orang kerumunan (das Man—dalam istilah
Heidegger) serentak membuka sekaligus menyelubungi diri. Mereka menyingkapkan
apa yang ingin mereka ungkap dan menutupi apa yang tidak ingin mereka ungkap. Baju,
simbol ke-aku-an, menjadi mesin manusia untuk menjadi munafik. Oleh karena itu,
sebagian besar orang tidak dapat menemukan kekasih sejati mereka.
*
Suatu hari, pencinta yang malang tadi datang lagi ke
rumah kekasihnya. Dia mengetuk pintu rumahnya.
“Siapa yang di luar?” tanya sang kekasih.
“Ini engkau. Aku adalah engkau, wahai kekasihku,”
jawab sang pencinta.
Sang kekasih menjawab, “Masuklah. Ya, kamu adalah aku,
sebab tidak ada tempat untuk dua aku di sini.”
*27/2/2021
0 Komentar