Rasionalisasi agama kerap kali dipahami sebagai pemitigasian dari “mitos” ke “logos” (rasionalitas). Di tengah gempuran pandangan dunia yang serba modern, teknologis, dan canggih, para sarjanawan mencoba mengamputasi dunia mitos agar bisa ditransformasi secara pas dan tepat ke dunia logos.
Yang tak pernah disadari oleh para sarjanawan ialah bahwa
mereka sebenarnya sedang bermigrasi dari satu mitos ke mitos lain: dari “mitos
mitologis / non-rasional” menuju “mitos logos / rasional”. Keduanya sesungguhnya
berkedudukan setara, bukan yang terakhir lebih superior ketimbang yang pertama.
Sains, di hadapan mitos, acap kali berkacak pinggang
dan menepuk ada, sehingga merasa bahwa dunia mitos sudah tertinggal di
belakang, karena sains unjuk diri sebagai penjelas realitas. Tepat di sinilah,
kendati tak pernah disadari banyak orang, sains adalah sebuah raksasa mitos,
yang terus-menerus dijaga oleh komunitas ilmiah yang juga tak kalah mitologis.
Kita tahu kerja sejarah yang ketat dengan metodologi
dan kronologi objektif acap menandakurungkan “mitos” sebagai non-historis, padahal
bukan di situ detak jantung dari mitos. Mitos tak pernah berpretensi diri untuk
mengklaim sebagai yang-historis, melainkan ia hanyalah satu cara bagaimana
realitas dipahami. Artinya, mitos membawa nilai di dalamnya, menyajikan makna
yang tak diberi oleh disiplin paling rasional dan empiris mana pun. Sains pun
juga demikian.
Sains membawa nilai, memberi satu cakrawala, dan
menjanjikan cara pemaknaan; agama dan yang dianggap mitos pun memberi satu cakrawala,
mendulangkan nilai, dan menjanjikan makna. Pada titik ini, kita benar-benar tak
syak bahwa keduanya, baik mitos maupun sains, sama-sama “mitos”. Jadi, ingin
kusimpulkan cepat-cepat, bahwa orang yang berkata “mitos hanyalah mitos” sebenarnya
sedang kerasukan mitos.[]
*11/9/2022
0 Komentar