Ad Code

Responsive Advertisement

Agama, mitos, dan sains: tiga kelokan yang sama

Rasionalisasi agama kerap kali dipahami sebagai pemitigasian dari “mitos” ke “logos” (rasionalitas). Di tengah gempuran pandangan dunia yang serba modern, teknologis, dan canggih, para sarjanawan mencoba mengamputasi dunia mitos agar bisa ditransformasi secara pas dan tepat ke dunia logos.

Yang tak pernah disadari oleh para sarjanawan ialah bahwa mereka sebenarnya sedang bermigrasi dari satu mitos ke mitos lain: dari “mitos mitologis / non-rasional” menuju “mitos logos / rasional”. Keduanya sesungguhnya berkedudukan setara, bukan yang terakhir lebih superior ketimbang yang pertama.

Sains, di hadapan mitos, acap kali berkacak pinggang dan menepuk ada, sehingga merasa bahwa dunia mitos sudah tertinggal di belakang, karena sains unjuk diri sebagai penjelas realitas. Tepat di sinilah, kendati tak pernah disadari banyak orang, sains adalah sebuah raksasa mitos, yang terus-menerus dijaga oleh komunitas ilmiah yang juga tak kalah mitologis.

Kita tahu kerja sejarah yang ketat dengan metodologi dan kronologi objektif acap menandakurungkan “mitos” sebagai non-historis, padahal bukan di situ detak jantung dari mitos. Mitos tak pernah berpretensi diri untuk mengklaim sebagai yang-historis, melainkan ia hanyalah satu cara bagaimana realitas dipahami. Artinya, mitos membawa nilai di dalamnya, menyajikan makna yang tak diberi oleh disiplin paling rasional dan empiris mana pun. Sains pun juga demikian.

Sains membawa nilai, memberi satu cakrawala, dan menjanjikan cara pemaknaan; agama dan yang dianggap mitos pun memberi satu cakrawala, mendulangkan nilai, dan menjanjikan makna. Pada titik ini, kita benar-benar tak syak bahwa keduanya, baik mitos maupun sains, sama-sama “mitos”. Jadi, ingin kusimpulkan cepat-cepat, bahwa orang yang berkata “mitos hanyalah mitos” sebenarnya sedang kerasukan mitos.[]

*11/9/2022



Posting Komentar

0 Komentar