Ad Code

Responsive Advertisement

Burung-burung jiwa dan cermin-cermin penyaksian

Seorang penyair sufi Persia pada abad ke-12, Farid al-Din al-Aththar, pernah menulis sebuah karya, mahakarya, Manthiq al-Thayr (Perbincangan Para Burung). Suatu ketika, sekelompok burung dari segala jenis burung, merasa gelisah karena menyadari bahwa mereka tidak memiliki raja bagi masyarakat burung. Padahal menurut mereka, setiap masyarakat pasti memiliki pemimpin, seorang raja yang menaungi rakyatnya.

Seekor hudhud, burung Sulaiman, yang paling bijak dari semuanya, menyarankan agar masyarakat burung mencari raja. Hudhud, yang mengetahui takhta raja berada di belakang Gunung Kaukasus dan ingin menjadi pemimpin mereka, merekomendasikan bahwa datang kepada raja diraja para burung menjadi hal yang penting untuk menobatkannya sebagai raja mereka.

Akhirnya, hudhud memimpin ratusan burung. Bagi mereka, perjalanan mendaki gunung Kaukasus terasa sangat sulit dan penuh penderitaan, sehingga hanya beberapa burung, tepatnya tiga puluh burung, akhirnya bisa sampai di singgasana raja yang bernama Simurgh.

Ketika mereka masuk ke dalam istana raja diraja, mereka tidak dapat menemukan raja diraja yang sejauh ini hendak mereka temui—hanya menyaksikan diri mereka sendiri. Tidak ada raja, tidak ada Simurgh, tidak ada yang selain tiga puluh burung itu sendiri.

Aku ingin berbicara tentang metafora burung dalam apa yang baru saja kuceritakan. Burung adalah simbol jiwa yang mencari induknya, bagi para sufi. Sebenarnya, secara simbolis cerita tersebut memerikan perjalanan jiwa manusia untuk bisa sampai di hadapan Tuhannya, Tuannya. Tapi tiga puluh burung hanya menyaksikan diri mereka sendiri.

Simurgh dari kata Persia, s-y-m-r-gh, yang berarti tiga puluh itu sendiri. Artinya, yang akan ditatap oleh jiwa kita nanti adalah jiwa itu sendiri. Secara sufistik, kita menyaksikan diri kita sendiri, kita selalu melihat apa yang dilihat mata kita. Kita hidup di depan cermin.

Jiwa kita adalah seekor burung yang harus terbang jauh dari dimensi profan ini, dengan cara membersihkan cermin kotor kita, hati kita, agar kita dapat menatap bahwa yang selalu kita saksikan tidak lain adalah diri kita sendiri.

*17/12/2020 



Posting Komentar

0 Komentar