Ad Code

Responsive Advertisement

Merdeka itu repot!

Manusia adalah makhluk merdeka dalam ketaktuntasannya. Manusia tidak pernah tuntas, tidak ada finalitas selain kematian. Oleh karenanya, dinamika manusia terus bergulir untuk merebut totalitas kemerdekaannya dalam spasio-temporal yang terletak di seluruh titik dimensi kehidupan.

Tidak pernah tercapai, tidak ada ketuntasan, itulah kemerdekaan manusia. Dalam ketuntasan, tentu itu akan menjarah kebebasan manusia dan memenjarakannya dalam keberhentian: itulah penjajahan. Kemerdekaan manusia selalu dalam tahap digeluti, dicari komposisinya, dikendorkan kerapatannya, dikayuh perjalanannya, disejajarkan dengan cakrawalanya, didialogkan lintas-lingkungan, untuk selalu diraih, bahkan dalam keadaan raib.

Indonesia telah merdeka selama 72 tahun [ditulis pada Agustus 2017]. Itu benar dan absah. Namun, tidak dapat dipresisi bahwa manusia Indonesia telah merdeka. Bahkan, untuk merumuskan bingkai budaya dalam memahami leksikal “merdeka” masih centang-perenang.

Sampai batas manakah manusia disebut merdeka? Adakah sebuah tolok-ukur yang mencanangkan bahwa merdeka hanyalah berbau fisikal atau nasionalistis semata? Ataukah malah, merdeka merupakan suatu totalitas yang terbubuh dalam diri manusia? Maka, perlu dikoreksi bahwa manusia Indonesia dalam 72 tahun lamanya, juga mengalami pergeseran ke titik yang menegangkan, melemahkan semangatnya, mengendorkan daya juang hidupnya, harkat-martabatnya ditimbun, mengalami absurditas psikis, hingga krisis ruhani yang membawa pada tubir ngarai kematian maknawi.

Seputar Kemerdekaan

Bagaimana kita mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka semenjak tahun 1945? Apakah proklamasi di Pegangsaan rumah Bung Karno menjadi indikator riil untuk mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka. Di satu sisi kita tidak tahu arti independensi Indonesia dalam meraih kemerdekaannya, di lain sisi, gelagat Jepang menyerah juga didorong oleh pengepungan sekutu yang secara tajam dan handal. Lalu, bukankah ada dugaan dari rakyat Indonesia bahwa kemerdekaan ini adalah hadiah, atau sebuah kebetulan, bahkan suatu suratan takdir? Tentu tidak ada kesimpulan yang perlu dibereskan.

Kita juga perlu ingat bahwa usai proklamasi kemerdekaan 45 tersebut, Indonesia tidak secara tuntas mengalami kemerdekaan dirinya. Bukankah masih terjadi upaya kolonialisasi seperti misal di Surabaya yang mengalami peristiwa 10 November; di Bali, Perang Puputan Margarana [Puputan: berarti berperang sampai mati]; di Semarang dan sekitarnya dengan Palagan Ambarawa; di Karawang, pembantaian Rawagede (yang mengingatkan kita pada sajak Chairil Anwar: “kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi / tidak bisa teriak ‘merdeka’ dan angkat senjata lagi / … kenanglah, kenanglah kami / teruskan, teruskan jiwa kami / menjaga Bung Karno / menjaga Bung Hatta / menjaga Bung Sjahrir / …); dan peristiwa Bandung Lautan Api. Dalam konteks tersebut, mengindikasikan bahwa perjuangan untuk merdeka selalu ada dalam proses, dalam ketidaktuntasan [tetapi kenapa kita suka dengan ketidaktuntasan; bukankah itu sebuah ketidakpuasan?].

Bendera Merah Putih

Sang Saka dikibarkan pada hari kemerdekaan. Kain wol. Namun, semenjak tahun 1969 bendera tersebut tidak dikibarkan karena beberapa kerusakan akibat waktu, melainkan digantikan oleh duplikatnya yang terbuat dari kain satin. Merah dan Putih. Apakah warna ini baru?

Dalam beberapa catatan, Kerajaan Majapahit memiliki lambang kebesaran mengenai dua warna tersebut. Tidak hanya Majapahit, Kerajaan Kediri pra-Majapahit juga sudah mengidentitaskan dirinya. Demikian juga Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa juga menggunakan panji pusaka tersebut.

Dua warna bermakna filosofis selalu diartikan sebagai merah adalah keberanian dan putih adalah kesucian. Menunjukkan wibawa masyarakat Indonesia dalam kelindan kedua-duanya. Keberanian yang mengidentifikasi raga manusia dan Kesucian yang menunjukkan bahwa jiwa adalah suci. Kompromi dua warna ini dimaknai bersama kemerdekaan Indonesia. “Merdeka bersama berani dan suci”: bersama raga dan jiwa.

Sampai di manakah leksikal “berani” dan “suci” bisa ditarik garis fleksibel pemaknaannya? Bukankah hari ini kita demam kepengecutan, kepicikan, atau “keberanian” hampir senada dengan keangkuhan, arogansi, dan fanatisme eksploitatif? Apakah itu tidak mengotori eksistensi kesuciannya, ataukah malah kita sedang senang bergumul dengan kekotorannya? Memang remangkah untuk memahami merah dan putih tersebut? Atau sudah cukup tuntas tertoreh semata dalam Sang Saka? Bukankah Saka hanya menjadi simbolisasi atau cerminan dari keberadaan diri kita? Sayang bila ejawantah dalam diri manusia Indonesia mulai terkubur bersama tong sejarah.

Indonesia sudah merdeka, tetapi semata dari kolonialisasi asing. Namun, bukankah hingga hari ini globalisasi merupakan Dajal kolonialisme yang ingin menghancurkan “kemerdekaan” Indonesia, terutama manusianya. Hegemoni globalisasi menciptakan hiper-realitas, yang menguapkan simulakra kepalsuan.

Kita kenal Indonesia hingga kontemporer ini memiliki puluhan perbedaan lokal. Perayaan kemajemukan Indonesia adalah kodrat, juga dengan pencaran pulau-pulau menyatu dalam pancaran kibaran Sang Saka. Ras, agama, budaya, dan adat yang plural tidak bisa disentralisasikan pada satu titik.

Kecenderungan lokal musti berlaku, jika tidak demikian, kita tidak bisa merayakan perbedaan, melainkan menghancurkan independensi dan menjadi manusia atau budaya yang dependentif terhadap yang lain: Penjiplakan. Kejahatan penjiplakan adalah pantulan lain dari keterjajahan. Dan, itu peletakan globalisasi yang sudah melekat di urat-nadi.

Bagaimana mungkin “merdeka” dapat disentralisasikan; kita ambil misal bahwa dalam sastra, tolok ukur kemapanan bersentral di TIM (Taman Ismail Marzuki). Ada kegaiban bahwa puisi terbaik adalah yang pernah dipentaskan di TIM. Ini merupakan sentralisasi, yaitu kejahatan koloni yang menghancurkan independensi. Benarkah keabsahan Ibu Kota adalah mutlak menyetir dan memobilisasi massa? Suatu percik kimia yang dikatalisatori oleh globalisasi untuk mengimitasi diri dari bagian dirinya? Lalu, di mana letak “aku”-ku jika aku harus melulu meniru kamu?

17 Agustus lalu. Kita kenal kesatuan, merangkumkan perbedaan, dalam rangka mengenang. [Sebatas mengenangkah? Apa yang perlu dikenang? Tidak ada yang dikenang bila aku tidak tahu apa yang perlu kukenang?] Andaikata setiap saat adalah 17 Agustus, maka perayaan perbedaan terus bergulir selalu tanpa ada senggolan perbedaan. Kalau memang tolok-ukur nasionalisme tidak berhenti pada pijakan Tanah Air, tetapi juga melibatkan “kemerdekaan” individu, maka ia membopong satu prinsip untuk kreatif dalam mendekonstruksi status-quo yang menjajah.

Bilamana pendidikan juga menjadi musim sistematisasi pola suatu penjajahan—sebagaimana kita tahu bahwa ekspresi dari pendidikan hingga hari ini masih menjurus pada terapan komoditas, yakni bagaimana kelak kita dapat untung banyak usai lulus sekolah. Universitas mulai menjanjikan omong kosong kelayakan kerja. Mahasiswa berprestasi dijanjikan kemapanan. Ini menjadi fatalisme kegandrungan materialisme pendidikan kita. Kalau demikian, kepincangan dalam menjalani hidup, menjalani pemerdekaan diri hanyalah buntu pada satu titik jemu yang memenjarakan.

Anehnya, bahwa sebuah universitas hanyalah menerima calon-calon berbakat yang terseleksi. Suatu kebobrokan kultural yang membiak. Bukankah harusnya universitas hadir untuk mendidik, menyiram budi pekerti, menambah wawasan, alih-alih malah itu semua dibalik menjadi konstanta persyaratan. Ujung-ujungnya, sekolah tinggi-tinggi hanya untuk pamer dasi, tinggi-tinggian profesi, rebutan kursi, dan mabuk kepayang terhadap uang.

Kemerdekaan, apakah selalu satu pola dengan kebebasan? Tentu term kebebasan bukan dalam makna Sartrean, karena memang kita selalu tak bisa lari dari satu aturan simbolis yang menjadi kebakuan dalam gambar sosio-kultural diri kita. Amat ambigu untuk membidik makna merdeka ini.

Kalau “merdeka” dipahami dengan tidak terjajah atau bebas, lepas dari jeratan atau tidak terikat, dan leluasa; apakah benar hal itu dapat dicapai? Sampai diri raib pun akan terus tak tuntas digapai. Berada adalah ada dalam wadah, sedangkan wadah merupakan batasan. Di situlah kita kekal terjajah. Belum lagi ketika kita membaca realitas yang dikontaminasi, baik oleh industrialisasi dan kapitalisme maupun pemenuhan diri dan narsisme. Konsumerisme menjadi napas hidup; bukan hanya konsumisasi material, tapi seluruh sisi, baik psikis maupun pseudo-psikis.

Ayat-ayat dimantrakan dan mantra diayatkan. Ini mengindikasikan bahwa manusia Indonesia masih banyak dalam keadaan tidak merdeka, bahkan tidak memahami kemerdekaan dirinya [tapi bukankah ketika kita memahami diri kita berarti kita terjajah oleh pemahaman tersebut?].

Kemerdekaaan personal tiap manusia musti dicari, dideteksi dalam lingkar luar dirinya, yang akan membebaskannya, bukan malah meringkusnya. Bagaimana seseorang diranjau untuk mengarus pada raksasa skenario massal merupakan suatu penjajahan dalam ruang batin manusia.

Ini merupakan bukti kolonialisasi dari negeri sendiri, dari diri sendiri, dengan campuran globalisasi kimiawi. Misalnya mulai dari indoktrinasi iklan, pengkaderan cara pandang, industrialisasi motivasi, seminar dukun penglarisan, perekrutan majelis kisruh, dan berbagai tetek-bengek kolonialistis yang menjadi mesin besar untuk turut melanggengkan ketidakmerdekaan manusia Indonesia.

Merdeka Perspektif Agama

Bagaimana kaitan merdeka dalam prinsip kehambaan kita terhadap Tuhan? Bukankah ateis adalah hal yang paling merdeka—jika kita berani menegaskan kebenarannya. Namun, apakah penghambaan selalu bermakna dijajah dan dijarah? Tentu iya. Tak ada yang bisa dielak. Hanya saja, dalam prinsip samawa(t) ini merupakan suatu kodrat dari hamba. Akan tetapi, bukankah selalu ada pilihan, jika demikian, menjadi ateis juga merupakan pilihan menjadi merdeka. Dan penghambaan adalah melakukan kemerdekaan lebih jauh dari merdeka menjadi ateis, yakni perjalanan hamba pada kesejatian.

Apakah kesejatian itu? Tuhan dalam hal ini tak bisa dipahami sebagai penjajahan jika dalam diri sang hamba menyadari totalitas yang tak terelakkan untuk melakukan penghambaan pada kesejatian, yang tidak lain adalah kesejatian diri, kesejatian ketiadaan dirinya, dan kesejatian ketiadaan yang selainnya. Untuk melakukan itu, tentu si hamba tak boleh untuk tidak meniadakan dirinya, meniadakan asal ketidakmerdekaannya. Pelenyapan. Hingga, satori [atau pencerahan dalam Zen Buddhisme] menjadi kemerdekaan yang ideal bagi kaum beragama. Mematikan dalam hidup dan menghidupkan kematian. Nyatanya, kita tidak pernah tahu batas dari kemerdekaan, ataukah memang ia nir-tapal batas?

Merdeka dan Tidak

Apakah kita merdeka ketika kita mengarungi kehidupan? Bukankah kita memang selalu terjajah dalam setiap penjuru, yakni menyerang kita, mengurung kita, meringkus kita, mengaruskan kita pada suatu pedoman yang mengekang kemerdekaan atau independensi kita? Tapi, apakah dapat dibenarkan bahwa bila kita tidak hidup maka kita tahu dan mengalami apa itu kemerdekaan?

Epilog

… “Kemerdekaan memang repot!”[]

Posting Komentar

0 Komentar