Ad Code

Responsive Advertisement

Batas kosakataku adalah batas duniaku

Menurutku kosakata merupakan bahan baku paling elementer bagi “makhluk berbahasa”. Aku memahami bahasa bukan sekadar yang secara klasik sebagai “alat komunikasi” atau merujuk pada suatu “jenis” bahasa, melainkan ia adalah jaringan padu paling fundamental yang menjadi “indra” bagi penglihatan, penangkapan, pencandraan, pemikiran, pengalaman, dan penghayatan seseorang.

Di sinilah kosakata, bisa dikatakan, secara klandestin tampak sebagai kekuatan dan kekukuhan “makhluk berbahasa”. Rasanya amat tepat bila kubilang bahwa manusia setiap kala memanjat usia, berarti setiap kala pula ia memanjat kosakata.

Kosakata selalu menjelma sebagai seberapa panjang kita dapat merentangkan lengan, seberapa jauh kita bisa mengayunkan langkah, dan seberapa dalam pandangan kita dapat menembus sumur berlumut hanya dari permukaannya belaka. Seseorang mungkin bisa mengaku bahwa ia memiliki pengalaman yang hebat, tetapi apabila ia tak bisa mengungkapkannya, artinya ia tak memiliki cukup kosakata (paradoksnya: pengalaman “yang hebat” itu pun sesungguhnya tersusun dan terstruktur oleh dan di dalam kosakata).

Kosakata adalah tulang punggung (ber)bahasa, yang tanpanya “makhluk berbahasa” sekadar “makhluk” belaka, yang tak ada beda dengan “makhluk-makhluk” lainnya. Penting dicatat bahwa kosakata yang kumaksud di sini bermakna dua: [1] entri/lema kata [2] perbendaharaan berbahasa/cakrawala.

Mungkin orang akan penasaran, menyodokkan pertanyaan, “Bisakah kau membabarkan ihwal cinta?” Dengan tegas dan percaya diri aku akan bilang cepat-cepat, “Sangat bisa.” Semua hal dapat diungkapkan dengan dan dalam kata-kata. Bahkan “[T]uhan-yang-maha-bukan” pun mengekspresikan diri melalui wahyu dalam bentuk [K]ata (logos)—ironis sekali bila “cinta” tak bisa!

Kata banyak orang, “rasa” dan “pengalaman” tak dapat diungkapkan. Ini ungkapan yang paling sering disalahpahami. Sebenarnya maksudnya adalah bahwa sebuah perasaan atau pengalaman Angga tak dapat ditransfer atau dipahami dengan baik oleh Anggi tanpa merasakan atau mengalaminya sendiri. Itu memang cukup benar. Akan tetapi, berkaitan dengan “pengungkapan” kita masih bisa memanuverkan semua peralatan "kosakata" yang dimiliki untuk dapat mendedahkan atau setidaknya menjadi representasi paling adekuat dan kongruen dengan “(pe)rasa(an)” atau “pengalaman” tersebut.

Dengan agak arogan aku ingin bilang: bahwa orang yang berkata tidak semua dapat dijelaskan dengan kata-kata menggamblangkan bahwa ia sebenarnya tak memiliki cukup kosakata (entah dalam makna [1] ataupun makna [2]). Menurutku, bahasa itu dua sayap, dan kosakata merupakan bulu-bulu sayap tersebut.

Ingin kuringkaskan segera bahwa kekuatan seberapa tinggi dan seberapa jauh sayap itu mengepak bergantung secara menyeluruh pada seberapa banyak bulu yang dimiliki kedua sayap itu. Dengan demikian, amatlah tepat jika kita ucapkan, “Batas kosakataku adalah batas duniaku.”

*30/9/2022



Posting Komentar

0 Komentar