Ad Code

Responsive Advertisement

Pergilah mencuci piringmu

Seorang murid Zen-Buddhisme, yang sudah membaktikan diri di sebuah biara bertahun-tahun, berkata ke gurunya, “Guru, aku mohon ajarkan aku sesuatu.”

Permintaan ini nyaris setiap hari diajukan oleh sang murid. Rasa-rasanya memang si murid merasa belum pernah diajari sesuatu—tentu inilah apa yang dirasakan si murid.

Dan setiap mengajukan permintaan itu, sang guru tak jemu-jemu menjawab dengan tanya, “Sudah makan?”

“Sudah,” sahut si murid.

“Kalau begitu,” tukas si guru, “pergilah mencuci piringmu.”

Dan si murid mengangguk, lantas pergi ke dapur. Dialog semacam ini terus berulang-ulang nyaris setiap kali sang murid meminta diajari sesuatu.

[Cerita ini diambil dari sebuah buku dengan banyak tambahan fiktif dariku demi kepentingan penjelasan berikut:]

Memang benar, pada lapisan pertama, mencuci piring merupakan satu bentuk praktik spiritual yang diajarkan sang guru ke si murid, yang mungkin dianggap si murid termasuk “bukan ajaran”.

Pada lapisan kedua, sebenarnya, menurutku bukan itu yang dimaksud sang guru. Sari pati dari perintah mencuci piring merujuk ke permainan pertanyaan “sudah makan?” yang dipahami dengan harfiah oleh sang murid.

Di sini tampaknya sang guru ingin mewanti-wanti untuk “pergilah mencuci piring”, yang artinya “tempat makananmu” itu mesti dicuci, yakni perut. “Pergilah mencuci perutmu!”

Itulah yang, menuruku, secara implisit dipesankan oleh sang guru. Sehingga, kelak, ketika sang murid menghadap si guru, ia akan menjawab “belum” kala ditanya “sudah makan?” Dari situ sang guru kemungkinan besar akan “mendulangkan” ajaran yang dikehendaki oleh sang murid.

Meski ini tampak sudah pada palung makna, aku ingin mengajak kita untuk masuk ke lapis palungnya palung. Pada lapisan ketiga, dalam Zen dan, menurutku, nyaris dalam semua bentuk spiritualitas, kata-kata dan ungkapan yang diekspresikan dalam dialog merupakan negasi radikal atas makna atau nilai dialog itu sendiri. Sederhananya, “pergilah mencuci piring” ialah pergilah mencuci semua ungkapan dan pikiran, dan pada akhirnya si murid disuruh menjadi “nirmenjadi” (nir-menjadi).

*18/9/2022



Posting Komentar

0 Komentar