Seni, dalam bentuk yang apa dan bagaimana pun, senantiasa “berbahaya”. Ia selalu—untuk tak mengatakan “men[e]ntang”—“men[a]ntang” status quo. Bagi kemapanan status quo, seni merupakan “malapetaka”, sebab ia mendiseminasikan perspektif anyar dan aroma asing yang belum pernah dibayangkan, dihidu, diantisipasi, atau dideteksi kehadiran serta konsekuensinya, yang dengan demikian rentan menggoncang fondasi tua yang mulai rapuh dan menggoyang bangunan lama yang tampak ringkih.
Dalam hal ini, segala ekspresi dalam bentuk apa dan
bagaimana pun yang menghantui dan memersekusi status quo—entah dalam
bentuk negara, parpol, ormas, lembaga, jaringan, kurikulum, sistem, sekte,
bahkan kepribadian individual—merupakan suatu seni, dan oleh karenanya seni
senantiasa politis.
Jika tidak antagonistis vis-à-vis status quo,
maka seni hanya bagaikan sebongkah pigura berisi secarik kertas ijazah atau
diploma yang dipajang di profil Instagram dan di pintu gerbang. Ringkasnya,
seni itu selalu disruptif ke (si)apa pun, mendistraksi baik “hidup-yang-wajar”
maupun “hidup-yang-tak-wajar” sekalipun. Kedua "standar hidup" itu
terus ditegur dan bahkan dikecam oleh seni(man).
Di sini seni(man) menjelma semacam suara gaduh di atas
plafon kamarmu, yang membuatmu terjaga sepanjang malam karena pikiranmu tak
berhenti terusik oleh, dan tercenung menelisik, apa-yang-ada-di-atas-plafon-kamarmu-tersebut:
sebuah suara yang menginterupsi ke(tak)wajaranmu, menyela tidurmu, kemudian
menyelusup ke pikiranmu, yang terus-menerus terdengar nyaring baik dalam bising
maupun hening.
Syahdan, semua seni punya bentuknya untuk mengutarakan
usikan dan kecaman itu dengan cara menyelundupkan atau menginjeksikan suatu “pandangan
saru yang menantang”, sesuatu yang tidak nyaman, yang tidak senonoh, bagi
kacamata status quo, bagi tidur malammu yang cantik.
Jika tidak demikian, sungguh, seni tiba-tiba berubah
menjadi tips-tips kocak semacam “5 langkah ampuh sukses kehidupan”, “kisi-kisi
mujarab mengerjakan soal CPNS”, “kunci inggris terandal lolos jadi pegawai BUMN”,
“kiat-kiat jitu merayu gebetan”, “3 obeng bertuah agar samawa dalam pernikahan”,
“detik-detik manjur menjadi miliarder instan”, “7 pintu mustajab bahagia
dunia-akhirat”, “tutorial ajaib lolos beasiswa luar angkasa”, “kunci pas sakti
untuk mengudari masalah rumah tangga”, dan lelucon lain semisalnya.
Mari kita pungkasi dengan satu sendok kalimat renyah
bahwa: “segala tentangan dan tantangan terhadap semua macam kemapanan merupakan
ekspresi paling basah dari kesenian.”
Postscriptum
Segala hal—entah dalam bentuk foto selbrong, meme,
rekaman suara, panggilan video, atau bahkan undangan pernikahan—yang
menyuntikkan satu atau lebih poin yang menggoncang kemapanan dan pendirian status
quo, adalah seni.
“Semua seni selalu politis. Jika tidak, ia hanyalah
sebongkah atau sebingkai ornamen. Dan semua seniman senantiasa mempunyai suatu
hal untuk diutarakan. Jika tidak, mereka cukup menjadi pegawai bank.” —Anonim
*6/10/2022
Artis: Skirill, DeviantArt |
0 Komentar