Telah separuh bulan Oktober tergigit, rembulan sabit senyummu di langit; beranjak ke November yang akan datang, akankah kita ciptakan kenangan di musim penghujan, sayang? ...
Hidung kita rindu mengendus petrikor pada kali pertama
hujan menjamah tanah. Dan aku, tetap siap memamah katakata dengan tunak agar
yang tak masak menjadi tanak, yang tak enak menjadi lunak, yang tak lezat
menjadi nikmat, dan agar bagimu tak sulit dan selilit ‘tuk mengunyah diksi yang
telah kugerus dan kuaduk empuk lalu kudulangkan pada netramu.
Tapi kenangan bukan rangkaian katakata yang tersulam
dengan renikrenik diksi yang matang, sayang, bukan pula sekadar musim penghujan
dalam hitungan bulan, melainkan berkenaan dengan untaian peristiwa yang
tersimpan tenang di kening ingatan.
Kenanglah aku sebagaimana aku ‘kan mengenangmu. Kamu
yang telah menggenang dan berenangrenang dan hanyut-karam dalam kenanganku
terhadapmu: kehadiranmu yang mengangkut silam.
Tapi, apakah kita perlu mengenang, berkabung kenangan,
dan berkubang melulu pada ingatan? Bukankah kita adalah kebersamaan? Dan
mengenang kenangan, pekerjaan bagi mereka yang dirundung perpisahan. Sedangkan
kita: doa perkawinan keabadian.
17/10/2018
Karya Mikyung Lee |
0 Komentar