“Apa pun yang kau dengar dan katakan mengenai Cinta, itu semua hanyalah kulit. Sebab, inti dari Cinta ialah sebuah rahasia yang tak terkatakan.” kata Rumi begitu meyakinkan.
Banyak orang yang dengan gampangan mengutip kata-kata
Rumi tersebut untuk menghindari kerumitan dalam menjelaskan atau mengungkapkan
apa itu cinta dengan dan di dalam kata-kata. Aku pribadi
memutuskan menolak menghindari kerumitan itu!
Lalu bagaimana aku mengonfrontasi aforisme Rumi di
muka? Penting diketahui bahwa kebanyakan para mistikus/sufi kerap terjebak
menghindar dari ikhtiar pemverbalisasian sebuah pengalaman (terutama pengalaman
cinta). Hal ini, menurutku, disebabkan dua soal.
Pertama, si mistikus
sebenarnya tidak memiliki keahlian berselancar secara ontologis dengan kata-kata.
Kedua, si mistikus tidak punya optimisme bahwa apa yang akan mereka
sampaikan dengan kata-kata bisa dipahami oleh khalayak umum.
Posisi Rumi tentu bukan pada soal pertama, sebab,
sebagaimana galib diketahui, ia merupakan penyair ulung—kendati ia sendiri
berkeras kepala menolak disebut penyair. Aforisme Rumi di muka mengindikasikan
bahwa ia terhalang karena soal kedua. Akan tetapi, perlu kita sesap lebih
dalam, bahwa sebenarnya aforisme Rumi di muka, “inti dari Cinta ialah sebuah
rahasia tak terkatakan,” jelas-jelas menunjukkan bahwa ia tengah menjelaskan
Cinta melalui kata-kata, dengan aforisme itu, meski dalam irama negatif.
Sama sekali tak seorang pun, terlebih mereka yang “tak-dikuasai-oleh-kata”,
berhak atau memiliki otoritas menyodorkan, apalagi menyodokkan, klaim universal
bahwa cinta itu tak terjelaskan, tak terkatakan. Bagi mereka yang tak menguasai
kata, lebih tepatnya “tak-dikuasai-oleh-kata”, melontarkan bahwa cinta tak
dapat dijelaskan menunjukkan pencaplokan lahan yang bukan milik mereka.
Kalau aku ditanya, “Apa itu cinta?” Aku dengan lugas
menjawab: cinta itu roh, yang hidup di dalam badan Majnun. Siapa pun yang
berkata pada pasangannya, “Aku mencintaimu, beb,” berarti ia adalah
Majnun, tetapi apabila ia tak seperti Majnun, ia bukanlah pencinta, tak
dirasuki oleh cinta, yang artinya kalimat “aku mencintaimu” teranulir ipso
facto.
Jika beberapa dari kalian tak setuju dengan
postulasiku, kita berarti terdesak untuk membuat level atau gradasi dalam
cinta. Ada cinta yang berdasarkan kehebatan filter Instagram, berdasarkan
jenama mobil, berdasarkan omzet bulanan, berdasarkan gaya rambut, berdasarkan
ukuran bra, berdasarkan kecerdasan, berdasarkan kenyamanan, berdasarkan
kekariban, berdasarkan kesaleh(ah)an, dan berdasarkan kesamaan aspirasi.
Pada akhirnya, gradasi cinta yang paling ujung, atau
paling pucuk, adalah tak-berdasarkan-apa-pun kecuali telah kerasukan oleh
kehadiran sang kekasih, dan inilah cinta pada level Majnun, dan hanya
inilah yang benar-benar bisa kita sebut cinta—cinta adalah menjadi Majnun,
menjadi majenun. Dengan demikian, semua yang lain, bisa kita kategorikan sebagai
pseudo-cinta, kuasi-cinta, dan pra-cinta.
Kembali ke sari persoalan: apakah benar cinta tak
dapat diungkapkan? Dengan lantang aku menjawab tidak benar. Sebab, Majnun itu
sendiri merupakan ungkapan paling gamblang dari Cinta, ekspresi yang paling mencolok,
kata-kata yang paling puitik, nada yang paling ritmik, dan perwujudan yang
paling benderang bahwa cinta itu terjelaskan, terungkapkan, dan tersingkapkan
melalui, di dalam, dan karena kata-kata.
Simpulku, dengan mendorong gerbong lebih jauh dan
semakin jauh: cinta bukan hanya dapat diungkapkan dalam/dengan kata, melainkan ia
sebetulnya dilahirkan dan dibesarkan serta diasuh dan diasah di dalam,
dengan/melalui, dan karena kata-kata. Tak ada Kata, tak ada Cinta![]
*11/10/2022
0 Komentar