Ad Code

Responsive Advertisement

Titik tolak sebelum bisa merasakan menjadi kucing

Seperti Apa Rasanya Menjadi Seekor Kelelawar merupakan esai ringkas yang menarik gerbong kuriositas manusia lebih jauh. Tidak sedikit baik para pemikir pikiran/kesadaran maupun para neurosaintis yang telah bertungkus lumus menafahus isu-isu relevan secara serius.

Lantaran itu “cukup” mustahil (bukan “sangat”), kukira kita perlu sedikit menurunkan oktafnya terlebih dahulu, agar suara pemeriksaan kita kemudian terbiasa dan bisa menaikkan kembali oktaf penyelidikan.

Dalam Islam, dengan pendekatan Qur’ani, misalnya, tak sedikit narasi yang mencandrakan “eksistensi hewan”, bahkan “relasi hewan-manusia”. Kebanyakan dari kita sepertinya kerap luput untuk menyadari dan tepekur dalam-dalam mengenai bagaimana perjumpaan kita dengan, katakanlah, kucing kesayangan, yang tiap pagi berhilir mudik di dapur, yang dengan sedikit jaim, mencoba mengintip meja makan.

Sebelum mengetahui “seperti apa rasanya menjadi kucing”, kiranya kita berpijak dulu pada lantai yang lebih sederhana, yakni, “seperti apa rasanya berada-di-dunia bersama kucing”, yang dari pengalaman personal ini akan kita manuverkan untuk dapat memahami seperti apa rasanya menjadi, misalnya, Nabi Sulaiman, yang memiliki perjumpaan fenomenologis dengan hulubalang semut.

“Aku-berada-di-dunia-bersama-kucing” berbeda jauh dengan “aku punya kucing” atau “kucingku imut sekali”. Yang pertama pernyataan performatif, penuh dengan penghayatan eksistensial dan bahkan spiritual, yang terakhir pernyataan konstatatif, stagnan, suatu deskripsi kering. Mari kita mulai belajar menghindari euforia pernyataan konstatatif, dan mulai menghadiri pesta pernyataan performatif.[]

*8/10/2022



Posting Komentar

0 Komentar