“Terlepas di mana tempat persisnya, pikiran kita merupakan sebuah dapur,” kulontarkan ke temanku. Malangnya, ia tak langsung mengerti arah kalimat tersebut. Ia kebingungan—terlihat dari mulutnya yang melongo—mencoba memahami kalimat itu.
“Kini kau tengah memasaknya,” imbuhku. Dia malah
membelalakkan mata, meniru mata elang yang cermat mencari mangsa, berupaya
memamah kata-kata sebelum menelan maknanya. Berganti hari, akhirnya ia memahami
ke mana arah kalimat itu—kini ia sering menggunakannya.
Memang, pikiran kita serupa dapur: pawon (bahasa
Jawa), akronim dari panggon (papan/tempat) dan awu (abu). Di
dalamnya harus ada “api” untuk memunculkan abu; api, sebuah nyala yang menandai
hidup dari sebuah kehidupan (sebab tidak semua kehidupan itu hidup). Akan tetapi,
tentu saja kita tidak sedang memasak “abu” itu sendiri, melainkan makanan yang
bisa disantap untuk mendulang kemestian hajat hidup.
Bumbu, resep, cara atau tahap, dan proses merupakan
tulang punggung dari makanan, mesin penggerak dari “hasil berpikir-berbahasa”
kita. Jika pikiran adalah sebuah dapur, maka hasil akhir berpikir kita
mencandrakan (dari bumbu) apa, bagaimana, dan untuk apa kita memasaknya, yang
kesemua itu dikerjakan di dalam dan dengan bahasa.
Setiap orang bisa memasak, tapi tidak setiap orang
bisa menyajikan makanan—yang selain enak, juga—sehat-menyehatkan.[]
*7/4/2021
0 Komentar