Ad Code

Responsive Advertisement

Hidup itu menurut dan menuruti

 …, padahal setiap paragraf, dan bahkan nyaris setiap kalimat, telah kububuhkan catatan kaki. Penulis harus terus menulis “menurut A”, “menurut B”, “menurut C”, tak boleh tanpa menurut. Orang harus menurut agar terus mencantumkan “menurut”.

Semua harus serba "menurut". Tanpa menurut, orang dicap berasumsi, dan kenapa tidak boleh berasumsi? Mungkin itu haram dan dosa besar. Mungkin itu cara efisien menyetop kreativitas: pandangan segar dan gagasan anyar.

Jangan berasumsi, jangan berijtihad, jangan tanpa “menurut”, jangan tidak menurut(i)! Kalau bukan (si)apa-(si)apa, Anda harus ikut orang lain, mengutip, mencantumkan catatan kaki, menduplikat, mengekor, membeo, dan mendombakan diri di kerumunan domba lain.[1]

Catatan kaki:

[1] Anggur Arifkur, Hidup itu Menurut dan Menuruti, Anumerta (t.k: t.p, t.t).

*6/2/2023


Posting Komentar

0 Komentar