Alkisah pada suatu siang Nasruddin Hoja sedang duduk termenung di bawah pohon rindang. Tidak beberapa lama, ia melihat ada tiga bocah yang melintas sedang berselisih. Nasruddin pun menegur sapa pada mereka.
“Ada
masalah apa kalian?” kata Nasruddin. Salah satu dari mereka menjawab, “Kami
sedang bingung bagaimana cara membagi buah-buah kenari ini untuk kami bertiga,”
sambil menyodorkan sekantong plastik.
Kemudian
Nasruddin memegang kantong tersebut. “Oh, begini caranya. Kalian mau memakai
cara manusia atau cara Tuhan?" ia tersenyum.
Mereka
menjawab spontan, “Cara Tuhan,” nyaris berbarengan.
Lalu
Nasruddin membuka kantong plastik tersebut dan memasukkan tangan kanannya. Ia
mengeluarkan tangannya yang memegang segenggam buah dan memberikan pada bocah
pertama. Nasruddin memasukkan tangan kanannya kembali dan mengeluarkan
segenggam buah untuk bocah kedua. Kemudian, ia memasukkan tangannya lagi,
ternyata tidak banyak lagi buah kenari yang tersisa di dalamnya. Ia mengangkat
satu butir terakhir dan memberikannya untuk bocah yang terakhir.
Tentu
saja raut muka bocah terakhir tersebut muram dan ia memprotes, “Ini tidak adil.”
Nasruddin hanya melempar senyum. “Pembagian macam apa ini? Tidak adil!” lontar
kekesalan bocah yang terakhir. Dua bocah yang lain juga heran dan terperangah
memandang Nasruddin.
Nasruddin
tersenyum kemudian berkata, “Begini... Inilah cara Tuhan. Kalau kalian
membaginya sama rata atau sama jumlah, itu berarti kalian menggunakan cara
manusia. Apa yang kulakukan barusan adalah sebagaimana cara Tuhan memberi kita.
Dia Yang Maha Pemberi (al-Wahhāb) memberi
seseorang sesuai kadar orangnya. Ada yang diberi banyak, ada yang diberi
sedikit, dan ada yang diberi sangat sedikit. Bahkan, ada juga yang tidak diberi
sama sekali.”
Dengan
mencerna penjelasan Nasruddin, ketiga bocah tersebut mengangguk-angguk.
Kisah
tersebut menyingkapkan misteri pemberian yang sering kali kita salah pahami.
Sebagaimana yang dilakukan Nasruddin, Allah Yang Maha Pemberi (al-Wahhāb) memang tidak
pernah pilih kasih untuk memberi, baik bagi hambanya yang meminta maupun yang
tidak. Tolok ukur pemberian-Nya pun tidak bisa harus dipatok untuk sama rata
dan sama jumlah. Dia memberikan sesuatu kepada hamba-Nya sesuai dengan kadar
kepentingan dan takaran keperluan si hamba.
Sudah
sepatutnya kita tidak mengeluh karena mendapatkan bagian yang lebih sedikit
ketimbang orang lain. Justru itu harus tetap disyukuri karena Allah sungguh
yang paling tahu keadaan dan keperluan kita. Bahkan, Kiai Luqman Hakim, sorang
pengampu Cahaya Sufi, saat ngaji al-Hikam, menyampaikan bahwa ketika
kita meminta kepada Allah, tapi Allah belum juga memberi kita, justru itu sudah
termasuk pemberian Allah kepada kita. Betapa dahsyatnya hikmah tersebut.
Allah
senantiasa mengijabahi doa-doa kita, tapi Allah punya otoritas untuk
menangguhkan sampai kapan doa dan permintaan kita tersebut akan diwujudkan atau
diberikan, dan bahkan mungkin tidak diberikan. Nah, dalam keadaan tersebut, “tidak
diberi Allah” itu sendiri merupakan satu bentuk “pemberian dari Allah”. Hanya
saja kita acap tidak memahami hal ini karena tolok ukur pemberian Allah kita
samakan dengan tolok ukur keseharian kita sebagai manusia.
Terakhir
yang perlu kita soroti adalah bahwa kita kerap menerapkan “pembagian cara
manusia” (sebagaimana tersirat dari kisah Nasruddin dan tiga bocah), yang
ternyata tidak menutup kemungkinan merupakan ekspresi dari kerakusan nafsu
kita. Keinginan kita akan sesuatu yang lebih hanyalah rintihan ego kotor kita.
Memang
benar bahwa ketika kita mendapat lebih sedikit ketimbang orang lain, maka akan
terasa pahit. Tetapi yang merasakan
kepahitan tersebut adalah nafsu kerakusan kita. Oleh karenanya kita tidak boleh
rakus demi memanjakan nafsu atas sekecil dan sesedikit apa pun pemberian Allah.
Bahkan ketika kita mendapatkan nihil atau tak mendapatkan apa pun, itu juga
termasuk satu bentuk pemberian Allah. Mensyukuri segalanya adalah benar dan
menjadi lebih baik untuk perkembangan kepribadian spiritual kita.[]
—Tulisan ini pernah diterbitkan di Iqra.id; https://iqra.id/nasruddin-dan-tiga-bocah-pemberian-dengan-cara-tuhan-229601/
0 Komentar