Selama ini yang kumaksud berpikir positif yang perlu dijauhi itu “berpikir positif prospektif”, karena ia berbahaya secara psikologis. Makanya kita berdiri di atas jargon, “proyek tanpa prospek”. Namun, kalau “berpikir positif retrospektif” malah amat dianjurkan, dan memang juga bersifat menyembuhkan secara psikologis.
Ajaran untuk terus berpikir positif prospektif itu
sendiri sangat absurd. Contoh: seseorang disuruh menghasrati/mengingini sesuatu
yang enak-enak semata. Ini kan nggak alamiah. Kita tahu realitas selalu
menyodorkan diri, bahkan menyodokkan dirinya, dalam pelbagai aneka rasa: getir,
manis, asam, pahit, pedas, lezat, gurih, melempem, dan semisalnya.
Berpikir positif menganjurkan orang untuk hanya
menghasrati supaya tidak menderita dan mendapat hal-hal positif belaka. Ini kan
tidak alamiah, amat absurd. Sama halnya seseorang menghasrati untuk tak menua;
sama halnya menghasrati untuk tak mati. Mana bisa? Objek hasratnya saja sudah
salah, bagaimana mungkin berpikir positif prospektif ini masih bisa
dipertimbangkan sebagai cara berpikir yang benar?
*6/8/2022
0 Komentar